Dulu yang gue tau Garut itu cuman terkenal dengan D n D aja, Dodol n Domba, karena emang gue belom pernah kesana dan ciri khas Garut ya emang itu.
Tapi setelah gw pergi ke klinik TONG FANG beranjak dewasa dan mengenal dunia naek naek ke puncak Gunung, ternyata Garut mempunyai tiga Gunung yang menjadi favorit buat para pendaki gunung dan buat para wisatawan.
Iya tiga gunung yang terkenal di Garut itu biasa di singkat menjadi PAGUCI (Papandayan,Guntur,Cikuray). Dan semuanya memiliki keindahan yang keren (kalo gue liat di google).
Akhirnya karena keseringan liat di Google aja, gue jadi penasaran sama gunung disana, dan pas akhir 2014 Desember kemarin tepatnya pada tanggal 24-25, gue dan 10 temen gue mencoba mendaki salah satu gunung di Garut yang terkenal dengan julukan “Switzerland Van Java” yaitu gunung PAPANDAYAN.
Swis di Garut
Perjalanan dimulai dengan ngumpul di Terminal Kp Rambutan, awalnya kita cuman berempat aja gue,Eko,Pupunk dan Ozan. Iya itu "biji" semua ga ada cewenya.Suram
Bus menuju Garut pun pergi pukul 12 malem, dengan penumpangnya yang hampir semua pendaki yang mau naek ke salah satu gunung di Garut. Sekitar 5 jam perjalanan pun ditempuh dengan biasa aja, karena sepanjang perjalanan gue tidur dengan terhimpit dua sejoli yang pangku pangkuan selama di Bus, dari pada gue kesiksa batin ya mending tidur.
Pukul 5 lewat kita tiba di Terminal Guntur, dan disinilah personil pendakian ke Papandayan bertambah menjadi 11 orang Gue,Eko,Pupunk,Ozan,Ardi,Jojo,Lukman,Fahri,Iran,Galih dan Diana. Iya Alhamdulillah jadi ga biji semua, ada dua cewe diatara para biji biji.
Tiba di Pos awal Papandayan, kita siap siap, berdoa dan yang paling penting mengabadikan moment sebelum naek.
Yeaaaaaah
Papandayan memang terkenal dengan kawahnya yang masih aktif, dan jalur pendakian pun melewati kawah kawah yang panas dan bau kentut.
"Neng Ojeg Neng...ke Tegal Alun"
Setelah hampir satu jam panas panasan, lewati kali sampe ada yang kejebur, menaiki tanjakan penuh bebatuan dan godain dua cewe dikerumunan biji, akhirnya kita nyampe di Pondok Saladah tempat para pendaki ngecamp.
Dan selama kita ngecamp, ada satu biji yang getol banget nyekill,gombal gembel cewe, kaya gini contohnya
Pupunk: Diana..Diana Kekasihkuuuuuu....
Paginya kita udah siap siap buat lanjut naek ke puncak untuk pergi ke Tegal Alun, cuaca pagi itu emang masih dingin banget dan berselimut kabut, tapi ga menghalangi kita buat menuju indahnya padang edelweis di Tegal Alun.
Dari Pondok saladah ada dua jalur jika ingin ke Tegal Alun , bisa lewat Hutan mati dahulu atau bisa lewat puncak dan turun melewati hutan mati, kita memilih lewat puncak karena ingin mengekspolore semua, walaupun di puncak Papandayan itu hanya hutan saja.
 |
| Lewati Rawa - rawa |
 |
| Jalur kepuncak cukup sempit terhimpit pohon,licin dan pasti nanjak |
 |
| Pemandangan hutan mati dari puncak |
 |
| Pemandangan orang orang belum mandi dari puncak :P |
|
|
|
|
|
Selama 30 menit kita menanjak dan menulusuri puncak, lelah pun terbayar setelah di ujung jalan terdapat padang edelweis yang sangat luas dan indah, iya Tegal Alun memang benar benar indah.
 |
| Syukur dan Tahmid atas semua kindahan ciptaan MU |
 |
| Padang Edelweis |
|
|
|
Puas menikmati keindahan Tegal Alun, kita kembali turun dan melewati hutan mati, hutan mati ini lumayan cukup luas, hutan mati terbentuk karena Gunung papandayan sempat erupsi pada tahun 2002 dan menghancurkanhutan
hutan dikawasan ini. Tapi inilah alam dibalik kemurkaannya akan ada suatu
berkah dan keindahan pada waktu yang akan datang.
Ini yang membuat gue jadi suka mendaki gunung, karena tidak hanya mendaki dan lelah saja yang kita dapat, tapi dibalik itu semua kita menemukan sebuah kisah perjalanan baru, bersama kawan baru, dan alamlah yang menyatukan, mengakrabkan semuanya dengan semua keindahannya. Tidak ada peran gadget dan social media disana, menjadikan kita menjadi manusia seutuhnya yang bersosial secara nyata.
Kawan, inilah cerita perjalanan kita.
 |
| Gue |
 |
| Fahri |
 |
| Eko |
 |
| Jojo |
 |
| Ozan |
 |
| Pupunk |
 |
| Iran |
 |
| Galih |
 |
| Diana |
 |
| Ardi |
 |
| Lukman |
Komentar